Sabtu, 19 Juli 2014

5 Taktik Berbisnis Untuk Wanita



KAUM WANITA kini menyerbu ranah bisnis di berbagai bidang, seperti industri fashion, kuliner bahkan agrobisnis.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia 2010, sekitar 60 persen UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dikelola oleh wanita. Hal ini menunjukkan bahwa wanita memiliki potensi yang sangat bagus untuk memulai bisnis sendiri.

Sifat wanita yang mudah bergaul, ulet dan jeli melihat peluang menjadi keunggulan khusus dalam bersaing di dunia bisnis. Jika Anda adalah wanita dan berniat merintis bisnis, simak lima jurus berbisnis untuk wanita dari Jocelyn Pantastico, pendiri LiveOlive.com, sebuah situs personal money management khusus wanita pertama di Asia:

1. Tunjukkan passion terhadap usaha yang Anda geluti. Ketika berbicara dengan klien atau para investor potensial, mereka akan menilai etiket bisnis Anda, namun tetap saja passion yang terpancar dari Anda lah yang akan memberi nilai lebih. Mereka juga akan melihat sedalam apa pengetahuan Anda tentang bisnis yang Anda jalankan. Karena itu, Anda perlu mengetahui berbagai istilah dalam bisnis, seperti break-even point (tolok ukur yang memastikan bahwa Anda sudah berhasil menutupi biaya-biaya operasional), cost of acquisition (biaya untuk mendapatkan pelanggan), cash flow (alur keluar-masuk uang) dan profit margins.

2. Tegas dalam mengambil keputusan. Ketidaktegasan dalam pengunaan uang yang tidak terencana dapat merugikan dan membuat perusahaan kehilangan kesempatan bisnis.

3. Jangan merasa terbebani target. Tujuan yang besar kadang terasa menakutkan, maka berlatihlah untuk mengatasi hal tersebut. Perhatikan tujuan utama Anda dan fokuslah pada langkah kecil untuk menggapai tujuan tadi. Misalnya, bila Anda ingin mendapatkan keuntungan 50 juta, pikirkan dulu bagaimana cara mendapatkan 10 juta, kemudian 20 juta dan seterusnya. Akan lebih baik jika segala sesuatu diatur menjadi beberapa bagian. Bila Anda membutuhkan 10 klien per bulan dan success rate sebesar 10% maka yang harus Anda lakukan adalah menghubungi 100 klien. Ini artinya Anda harus menghubungi 5 klien per hari (asumsi 20 hari kerja dalam satu bulan).

4. Pisahkan keuangan bisnis dan pribadi. Walaupun usaha Anda baru saja dimulai, perlakukanlah usaha Anda seolah-olah usaha Anda sudah besar. Catatlah seluruh pengeluaran dan pemasukan baik-baik. Bukalah rekening khusus untuk usaha Anda, pisahkan dengan rekening pribadi. Dengan begitu seluruh pemasukan dan pengeluaran usaha Anda, ada dalam satu tempat dan memudahkan Anda untuk mengetahui kepastian keuntungan usaha. Hal ini juga akan membantu pencatatan pajak Anda.

5. Tidak perlu bermewah-mewah untuk urusan kantor Anda.
Furnitur yang bagus dan mahal bukanlah sebuah prioritas saat memulai usaha. Coba pertimbangkan furnitur dan peralatan bekas pakai.

Nah, siap memulai bisnis?

(Sumber: Reader’s Digest Indonesia, Dalyanta Sembiring).

Naomi Susilowati Setiono, Pengusaha Batik Lasem Mantan Kernet Bus

SEBELUM SUKSES MENJADI PENGUSAHA, Naomi Susilowati wanita sederhana ini juga pernah menjalani hidupnya sebagai tukang cuci baju, pemotong batang rokok, kernet bus antar kota dan akhirnyaa menjadi pengrajin batik lasem.Kegetiran hidup tak menyurutkan perjuangan Naomi Susilowati Setiono (46) dalam menjalani kesehariannya. Dengan berapi-api, wanita sederhana ini menuturkan kisah hidupnya yang diawali sebagai tukang cuci baju, pemotong batang rokok, kernet bus antarkota, dan akhirnya menjadi pengusaha serta perajin batik lasem.

Hingga tak heran, rekan-rekannya memintanya untuk menjadi ketua cluster batik lasem, yang hingga kini belum diberi nama. Dalam waktu dekat, cluster ini akan dinamai menjadi semacam asosiasi perajin/pengusaha batik lasem.

Semua ini karena kebaikan Tuhan, ujarnya mensyukuri perbaikan hidup yang dialaminya. Meski bukan pengusaha batik nomor wahid di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, perempuan peranakan Tionghoa ini sangat terkenal di dunia perbatikan, khususnya batik lasem.

Jenis batik lasem (atau laseman) yang perkembangannya jauh tertinggal dibanding batik solo dan yogya ini terus digeluti, meski masih menggunakan peralatan tradisional. Naomi yang memimpin Batik Tulis Tradisional Laseman Maranatha di Jalan Karangturi I/I Lasem, Rembang, ini mengerahkan 30 perajin guna mendukung usahanya.

Selain mengemban status single parent, Naomi terkenal aktif sebagai pendeta di gereja setempat. Bahkan, akhir-akhir ini ia disibukkan dengan mengisi seminar maupun pemaparan ke berbagai instansi mengenai seluk-beluk batik lasem.

Ia juga tengah merintis pengaderan perajin batik ke sekolah-sekolah secara gratis. Kalau tidak kami sendiri yang mengader, siapa lagi? Tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, ujarnya.

Naomi mengaku pernah melontarkan gagasannya kepada Bupati Rembang Hendarsono (saat itu) untuk menyisipkan cara membatik ke dalam pelajaran muatan lokal. Sayangnya, ide ini tak ditanggapi dan dianggap tidak bisa berhasil.

Akhirnya, ia langsung turun ke sekolah-sekolah untuk menyampaikan gagasannya itu. Kini, ia masih menunggu tanggapan dari sekolah-sekolah. Jika masalah tempat, saya bisa meminjam balai desa, tak perlu keluar uang, ujarnya.

Meski sangat sibuk, produktivitasnya tak berubah. Setiap bulan Naomi dan rekan-rekan pekerja di tempatnya menghasilkan rata-rata 150 potong batik tulis. Batik-batik bermotif akulturasi budaya Cina dan Jawa ini dikirim ke berbagai daerah, seperti Serang (Banten), Medan (Sumut), dan Surabaya (Jatim).

Naomi menjelaskan, usaha batik yang digeluti sejak tahun 1990 ini merupakan limpahan dari orangtua. Namun, ia tidak semata-mata menerima begitu saja.

Pada tahun 1980, lulusan Sekolah Menengah Apoteker Theresiana Semarang ini mendapatkan masalah sehingga dikucilkan dari keluarga yang saat itu terpandang di wilayahnya. Ditolak dari keluarga yang telah mengasuhnya 21 tahun itu mau tak mau harus diterimanya. Ia pun pindah ke Kabupaten Kudus.

Di tempat ini ia menyingsingkan lengan baju dan bekerja sebagai pencuci pakaian. Tergiur penghasilan yang lebih tinggi, ia pindah sebagai buruh pemotong batang rokok di Pabrik Djarum Kudus.

Karena kurang cekatan, ia hanya mendapatkan penghasilan yang sedikit, Rp 375 per hari. Padahal teman-teman dapat memotong rokok berkarung-karung, bisa mendapat uang Rp 2.000-an, ujar lulusan Sekolah Tinggi Theologia Lawang, Jatim, ini.

Ia hengkang dan berpindah sebagai kernet bus Semarang-Lasem. Singkat cerita, orangtuanya memintanya kembali ke Lasem. Itu pun dengan berbagai cemooh. Saya ditempatkan di bawah pembantu. Mau minta air dan makan ke pembantu. Saya juga tidak boleh memasuki rumah besar, ujarnya.

Perlakuan ini ia terima dengan lapang dada. Sedikit demi sedikit ia mempelajari cara pembuatan batik lasem. Mulai dari desain, memegang canting, melapisi kain dengan malam, hingga memberi pewarnaan diperhatikannya dengan saksama.

Hingga suatu hari, tahun 1990, orangtuanya memutuskan tinggal dengan adik-adiknya di Jakarta. Usaha batik tidak ada yang meneruskan. Dari titik inilah Naomi dipercaya untuk melanjutkan usaha batik warisan turun-temurun ini.

Kesempatan ini digunakan Naomi untuk mengubah sistem dan aturan main bagi pekerjanya. Ia memberi kesempatan kepada perajin untuk menunaikan ibadah shalat. Sesuai kewajiban yang ingin mereka jalankan, saya memberikannya. Ini salah satu sistem baru yang saya terapkan, ujarnya yang pernah bercita-cita sebagai arkeolog.

Suasana kerja juga bukan lagi atasan dan bawahan. Ia menganggap perajin adalah rekan usaha yang sama-sama membutuhkan dan menguntungkan. Jika siang hari turun tangan dalam memproses batik, malam hari digunakannya untuk membuat desain.
 
Ibu dari Priskila Renny (23) dan Gabriel Alvin Prianto (17) ini masih tetap eksis di dunia perbatikan. Perlahan namun pasti, batik lasem mulai menggeliat dan dilirik kembali oleh para pencinta batik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. (Ichwan Susanto, Kompas, 23 Januari 2006)

Semoga terinspirasi....